-->

Lailatul Ijtima: Tradisi Keagamaan NU yang Sarat Makna dan Penguatan Ukhuwah

Memahami Kedalaman Tradisi Lailatul Ijtima dalam NU

Lailatul Ijtima merupakan salah satu tradisi khas Nahdlatul Ulama (NU) yang terus dilestarikan di berbagai daerah sebagai bentuk penguatan keagamaan, sosial, dan kebudayaan. Dalam lingkungan Nahdliyin, istilah ini tidak sekadar menunjuk pada sebuah pertemuan rutin, namun mencerminkan ruh kebersamaan dan syiar Islam Ahlussunnah wal Jamaah an-Nahdliyah yang hidup di tengah masyarakat.

Artikel ini menyajikan pembahasan mendalam mengenai asal-usul, makna, struktur kegiatan, manfaat sosial-keagamaan, hingga relevansi Lailatul Ijtima bagi masyarakat modern. Dengan pendekatan analitis dan penjelasan yang komprehensif, kami menghadirkan wawasan yang lebih luas dan kaya agar pembaca memahami betapa pentingnya tradisi ini dalam ekosistem keagamaan NU.


Apa itu Lailatul Ijtima?

Lailatul Ijtima: Tradisi Keagamaan NU yang Sarat Makna dan Penguatan Ukhuwah


Lailatul Ijtima berasal dari dua kata dalam bahasa Arab: lailah berarti malam, dan ijtima’ berarti pertemuan. Secara harfiah, Lailatul Ijtima bermakna “pertemuan malam,” namun dalam konteks NU, istilah ini berkembang menjadi forum pengajian, musyawarah, dan konsolidasi organisasi yang dilakukan secara rutin oleh jamaah dan pengurus NU di berbagai tingkatan.

Tradisi ini sudah berlangsung puluhan tahun dan menjadi ciri khas kegiatan keagamaan warga NU di banyak daerah. Selain menjadi ajang dakwah, Lailatul Ijtima juga berfungsi sebagai wadah silaturahmi, kaderisasi ulama dan aktivis, serta ruang diskusi berbagai persoalan umat.


Sejarah dan Perkembangan Lailatul Ijtima dalam NU

Akar Tradisi di Tengah Dinamika Jam’iyah

Tradisi Lailatul Ijtima tidak tercatat dalam struktur formal organisasi ketika NU pertama kali berdiri pada tahun 1926. Namun praktik keagamaan yang menekankan unsur silaturahmi dan musyawarah sebenarnya sudah melekat sejak lama dalam kultur pesantren dan masyarakat tradisional Jawa, Madura, hingga Sumatra.

Pada dekade 1970-an hingga 1990-an, Lailatul Ijtima mulai lebih dikenal sebagai kegiatan rutin Syuriyah dan Tanfidziyah di tingkat MWC hingga ranting. Dalam perkembangannya, kegiatan ini menjadi forum strategis dalam penyampaian informasi keorganisasian, pembinaan jamaah, serta pemantapan amaliah Ahlussunnah wal Jamaah.


Struktur Kegiatan Lailatul Ijtima yang Umum Dilaksanakan

Setiap daerah dapat memiliki model pelaksanaan yang berbeda, namun kerangka kegiatan Lailatul Ijtima umumnya meliputi:

1. Pembacaan Tawasul dan Dzikir

Kegiatan dimulai dengan tawasul kepada para masyayikh dan muassis NU, dilanjutkan dengan dzikir, tahlil, atau pembacaan shalawat sebagai bentuk penghayatan spiritual.

2. Pembacaan Ayat Suci Al-Qur’an

Sebagai bentuk penghormatan dan pembukaan majelis, tilawah Al-Qur’an disampaikan oleh qari setempat.

3. Mauidhoh Hasanah

Kiai atau tokoh agama memberikan nasihat dalam bidang akidah, fiqih, akhlak, hingga masalah sosial keumatan. Inilah bagian inti yang biasanya paling dinantikan jamaah.

4. Paparan Informasi Organisasi

Pengurus NU atau badan otonom menyampaikan program, agenda, dan perkembangan isu aktual yang berkaitan dengan NU dan masyarakat luas.

5. Diskusi dan Tanya Jawab

Forum interaktif bagi jamaah untuk menyampaikan persoalan keagamaan atau sosial yang mereka hadapi.

6. Penutup dengan Doa Bersama

Majelis ditutup dengan doa agar seluruh aktivitas membawa keberkahan.

Makna Filosofis Lailatul Ijtima

1. Penguatan Ruh Jam'iyah

Lailatul Ijtima bukan sekadar pertemuan rutin, tetapi sarana pemurnian kembali komitmen berjam'iyah. Dalam NU, soliditas jamaah adalah kekuatan utama dalam dakwah dan pelayanan sosial.

2. Merawat Tradisi Keilmuan Pesantren

Melalui mauidhoh hasanah dan kajian fikih ke-NU-an, tradisi keilmuan pesantren terus diwariskan kepada masyarakat umum.

3. Memperkuat Ukhuwah Islamiyah dan Nahdliyah

Silaturahmi rutin antarwarga mampu mencegah disintegrasi sosial, memupuk empati, dan membangun kesadaran kolektif.

4. Arena Dakwah Kultural

Lailatul Ijtima menjadi media dakwah yang lembut, sesuai dengan karakter Islam Nusantara yang ramah, merangkul, dan menyejukkan.


Manfaat Sosial dan Keagamaan Lailatul Ijtima

1. Membangun Masyarakat Religius

Pengajian rutin secara efektif meningkatkan pemahaman agama dan moralitas masyarakat.

2. Sarana Konsolidasi Organisasi

Kegiatan ini mempermudah NU dalam menyampaikan visi, misi, dan program secara terstruktur hingga tingkat akar rumput.

3. Memperkuat Ketahanan Sosial

Karena Lailatul Ijtima juga membahas persoalan lingkungan dan sosial, masyarakat menjadi lebih peduli terhadap situasi sekitarnya.

4. Media Pendidikan Karakter

Nilai adab, wawasan Islam moderat, dan etika bermasyarakat tertanam kuat melalui pengajaran langsung dari para kiai.


Peran Lailatul Ijtima di Era Digital

Di tengah arus informasi digital yang cepat dan tidak terbatas, Lailatul Ijtima tetap relevan sebagai forum tatap muka yang penuh kehangatan. Namun berbagai inovasi dapat dilakukan, seperti:

  • Dokumentasi kajian dalam bentuk video dan disiarkan ulang.

  • Penayangan materi dakwah melalui platform media sosial NU.

  • Digitalisasi informasi organisasi agar lebih cepat menyebar.

Melalui sinergi antara tradisi dan teknologi, kegiatan ini dapat menjangkau generasi milenial dan Gen-Z tanpa kehilangan karakter klasiknya.


Perbandingan Lailatul Ijtima dengan Majelis Keagamaan Lain

Kegiatan sejenis memang banyak dilakukan dalam tradisi Islam Nusantara, seperti manaqib, istighotsah, dan pengajian umum. Namun Lailatul Ijtima memiliki keunikan:

AspekLailatul IjtimaMajelis Keagamaan Lain
FokusKeagamaan + OrganisasiUmumnya keagamaan saja
PesertaWarga + Pengurus NUJamaah umum
FrekuensiRutin bulananBervariasi
OutputKajian, konsolidasi, silaturahmiKajian atau ritual
PeranPenguatan jam'iyahPenguatan spiritual

Mengapa Lailatul Ijtima Penting bagi NU dan Umat?

Lailatul Ijtima menegaskan jati diri NU sebagai organisasi sosial-keagamaan yang inklusif, moderat, dan merangkul seluruh lapisan masyarakat. Di tengah tantangan ideologi transnasional, polarisasi, dan kemajuan teknologi, tradisi ini menjadi penopang stabilitas dan keharmonisan umat.

Dengan menjaga keberlanjutannya, NU dapat terus menghadirkan solusi nyata atas berbagai persoalan masyarakat, sekaligus melestarikan warisan keagamaan Islam Nusantara.


Kesimpulan

Lailatul Ijtima bukan hanya tradisi seremonial, melainkan sebuah sistem sosial yang mengokohkan nilai keagamaan, kebersamaan, dan kepedulian. Lewat pertemuan rutin ini, masyarakat NU memperoleh ruang dialog, penguatan spiritual, serta pemantapan organisasi yang berdampak luas terhadap kehidupan beragama dan berbangsa.

Dengan memahami makna dan mekanismenya secara utuh, kita semakin menyadari bahwa Lailatul Ijtima merupakan aset berharga yang harus terus dijaga, dirawat, dan diwariskan ke generasi berikutnya.


LihatTutupKomentar